“Kebahagian tidak akan pernah ada syarat untuk dapat merasakanya”
Saya memiliki kisah yang mungkin
sebagian besar orang juga pernah merasakanya.
Saya terlahir dari keluarga
sederhana yang selalu mengajarkan arti hidup dan mampu bertahan terhadap segala
cobaan hidup. Dari kecil saya selalu diajarkan, untuk bisa menjadi orang yang
sukses dan bahagia kelak, maka untuk itu kamu harus kerja keras dan belajar.
Jika cita-cita kamu tercapai maka disaat itulah kebahagian dalam hidupmu akan
hadir dengan sendirinya.
Semua berawal dari masa sekolah
dasar, yang mana orang tua saya meminta
untuk belajar dengan gigih agar nantinya bisa mendapatkan sekolah lanjutan
yang populer dan bergengsi tentunya. Sebagai anak yang berbakti pada orang tua,
amanat beliau adalah tanggung jawab yang harus dicapai dan saya yakin jika
nantinya saya mendapatkan sekolah lanjutan favorit maka saya akan bahagia. Saya
selalu bekerja keras belajar siang dan malam. Hingga saat ujian dan pengumuman
nilai pun keluar, dan saya sangat bersyukur karena mendapatkan predikat
tertinggi disekolah saat itu dan berhasil melanjutkan sekolah di sekolah
favorit dikota saya saat itu.
Namun pikiran saya yang
mengatakan kalau saya akan bahagia itu salah, yang ada malahan saya dipaksa
lagi untuk belajar lebih keras oleh karena bersekolah di sekolah favorit dan
dipenuhi oleh anak-anak berbakat. Jika tidak belajar lebih keras maka saya
tidak akan bisa berkompetisi dengan murid yang lain,seakan saya tidak diberi
kesempatan untuk menikmati pencapaian saya tersebut. Semua itu berlanjut hingga
saya kuliah, yang mana jika kelak saya mendapatkan IPK tertinggi dengan
predikat Cumlaut maka saya akan bahagia. Hingga pada saat
wisuda saya berhasil mewujudkanya, namun semua itu seakan tidak ada hentinya,
seakan saya tidak diberi kesempatan untuk bahagia. Selalu ada hal yang
menghalangi untuk merasakanya. Terlepas dari wisuda saya dihadapkan lagi dengan
situasi dimana harus mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang mencukupi.
Sekali lagi saya berkata, jika nantinya saya bekerja diperuahaan yang bagus
dengan gaji yang mencukupi, maka saya akan “bahagia”
Disaat inilah saya mulai
tersadar, berkaca dari teman-teman yang lebih tua dari saya yang sekarang
bekerja lebih keras dan berupaya menabung untuk kelak bermimpi, jika nanti
mereka memiliki rumah maka mereka akan bahagia. Bahkan setelah mereka berhasil
mencapainya, kebahagian itu tidak benar-benar mereka rasakan, mereka dihadapi
lagi oleh tuntutan orang tua yang meminta untuk segera menikah dan punya
keluarga. Pikiran tentang konsep bahagia itu timbul lagi dengan berkata “ jika
nanti saya memiliki pasangan hidup dan membina keluarga maka saya akan bahagia”
Namun kenyataanya, setelah
berkeluargapun, kita selalu lebih dituntut untuk bisa bekerja lebih keras lagi
ditambah lagi nantinya oleh kehadiran anak-anak dirumah. Seperti biasa ucapan
tersebut akan keluar lagi, “ jika anak-anak saya besar kelak dan menjadi orang
yang sukses maka saya akan bahagia”
Saat anak-anak sudah keluar dari
rumah dan membentuk keluarga sendiri, kebanyakan dari kita akan menghdapi
masa-masa pensiun, yang mana mereka memiliki beban baru lagi untuk
mempersiapkan masa pensiun nya. Alih-lalih untuk bahagia, malahan kita dihadapi
oleh situasi baru yang selalu menuntut kita untuk seakan tidak bisa menikmati
kebahagiaan tersebut.
Bahkan sebagin besar orang akan
lebih banyak menghabiskan waktu mereka ditempat ibadah pada hari tu mereka dan
berharap kelak mereka akan bahagia di alam sana.
Setelah kita dalami lebih jauh,
seakan tidak ada waktu untuk menikmati kebahagian tersebut, semua seakan
dilakukan dengan persyaratan untuk merasakanya. Mereka yang hidup dengan
percaya bahwa “setelah saya mendapatkanya, maka saya akan bahagia”, mereka
hanya akan menjadi impian masa depan tanpa pernah bisa merasakanya.
Kebahagiaan itu sekarang, dengan
apa yang anda miliki sekarang tanpa harus ada syarat untuk dapat merasakanya. Rasa syukur akan selalu bisa
menjadi jawaban atas kebahagiaan sebenarnya yang kita cari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar